counter

Sabtu, 30 Mei 2020

Patah Hatinya Beliau

Patah Hatinya Beliau

Cipt: Chelline Nandya

 

"Anakku, aku memang tidak pernah mengajarkanmu perihal abjad, apalagi angka karena itu tugas ibumu. Namun, bagaimana caramu bersikap adalah buah dari didikanku."

 

Gemerlap rembulan seakan menghiasi langit kala itu; kala aku diam, tidak tahu harus berbuat apa. Aku lantas mengambil teleskop, berniat menenangkan hati barang sejenak. Namun sayang, (lagi-lagi) pandanganku kosong. Padahal kupikir angkasa dapat menjadi teman bicara dan bintang dapat menemaniku dalam kekosongan yang ada. Benar, pandanganku memang benar-benar kosong, tetapi berbanding terbalik dengan pikiranku. Banyak hal yang selalu aku khawatirkan, terutama perihal beliau.

"Al, makan dahulu." suara lantang dari Ibu berhasil membawaku pada bumi tempatku berpijak. Ya, aku Alana. Perempuan biasa, dengan perawakan sederhana yang selalu berhasil membuat siapa saja tenang jika berada didekatku.

"Nanti, Bu. Alana belum lapar." sahutku pelan. Entah mengapa hari ini rasanya aku sangat tidak bersemangat melakukan apa pun dan tiba-tiba saja kepalaku benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Karena khawatir, ibu lantas menghampiriku. Ia tersenyum sendu seraya berkata, "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Al. Tugasmu bukan untuk membahagiakan semua orang, kamu harus ingat itu." Aku menangis, tetapi air mataku tidak mau ikut luruh. Sebenarnya aku sempat penasaran, bagaimana bisa ibu selalu tahu apa yang aku rasakan bahkan apa yang aku khawatirkan. Dan bagaimana bisa ibu menguatkanku, dikala seharusnya ia yang butuh dikuatkan.

"Al tidak berhasil menepati janji pada beliau, Bu." jawabku lemah. Ibu tersenyum, tetapi kali ini senyumnya tulus. "Seperti yang pernah beliau bilang, 'Al tidak akan bisa membuat semua orang bahagia, Al cukup membuat mereka tahu bahwa hidup mereka berharga.' Al paham kan?" sahut ibu menasihati dan disusul dengan anggukan kepalaku. Kupikir ibu benar perihal itu. Aku selalu berusaha membahagiakan orang lain, tetapi sebenarnya aku lupa pada tujuan awalku melakukannya. Aku terlalu berambisi, tetapi pada akhirnya ambisi itulah yang perlahan menghancurkanku.

Aku ingat betul ketika napasnya perlahan memudar, beliau sempat berkata padaku "Anakku, aku memang tidak pernah mengajarkanmu perihal abjad, apalagi angka karena itu tugas ibumu. Namun, bagaimana caramu bersikap adalah buah dari didikanku dan aku percaya apa yang kamu lakukan adalah cara terbaikmu membahagiakan orang lain. Patah hati mereka adalah patah hatiku." Sejak hari itu, aku selalu ingin menjadi seperti apa yang beliau katakan dan lagi, aku tidak ingin mematahkan hati beliau.

Beliau yang kumaksud adalah ayahku. Seorang pria paruh baya, yang kini hadirnya hanya sekadar kenangan indah buatku dan juga ibu.

Editor: Sheila Mitha Kalyani


Go Follow!

Instagram : Cittamagz


Youtube : Cittakmbp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar