counter

Rabu, 17 Juni 2020

Pancasila Buddhis dalam Kehidupan Kita

Penerapan Pancasila Buddhis Dalam Kehidupan Sehari-hari


Pancasila adalah ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh para pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta pañcaśīla dan bahasa Pali pañcasīla yang berarti ‘lima kemoralan’ atau ‘lima nilai moral’. Pancasila Buddhis digunakan sebagai pedoman hidup untuk seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha pernah bersabda bahwa,

“Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya (Dhammapada, XVI: 217)”.

Sebagai umat Buddha, Pancasila Buddhis sebaiknya dilaksanakan dengan tekun dan ketat, sesuai ajaran Sang Buddha. Lima sila ini apabila dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membawa  manfaat yang sangat banyak, salah satunya mendapatkan perlindungan dari Sang Buddha. Pancasila dalam agama Buddha terdiri dari lima latihan moral, yaitu:

1. Pāṇatipātā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi

 

Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. Sebagai umat Buddha, kita seharusnya menghindari perilaku membunuh makhluk hidup. Ada 5 faktor untuk dapat disebut membunuh, yaitu:

  • Ada makhluk hidup.
  • Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup.
  • Berpikir untuk membunuhnya.
  • Berusaha untuk membunuhnya.
  • Makhluk itu mati sebagai akibat dari usaha tersebut.

Penerapan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari ialah dengan tidak membunuh makhluk hidup baik manusia maupun hewan besar dan kecil (nyamuk, semut atau hewan lainnya). Tanamkanlah cinta kasih dan rasa sayang kepada sesama makhluk hidup. Karena sila-sila erat kaitannya dengan karma, dipastikan kita akan memperoleh karma buruk jika melanggar sila pertama ini. Adapun akibat-akibat dari melanggar sila pertama, yaitu;

  • Lahir kembali dalam keadaan cacat.
  • Mempunyai wajah yang buruk.
  • Mempunyai perawakan yang jelek.
  • Berbadan lemah dan berpenyakitan.

 

2. Adinnādānā veramaṇi sikkhāpadaṁ samadiyāmi

 

Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian. Semua agama juga mengajarkan untuk tidak mencuri. Sang Buddha pernah berkata kepada para bhikkhu bahwa mencuri akan mengakibatkan penderitaan bagi si pencuri, seperti yang dituliskan dalam Saṁyutta Nikāya (III, 15) di bawah ini:

Ia akan terus merampok/mencuri, hingga saat tindakan tersebut menjadi penyebab kematiannya”.

Ada 5 faktor untuk dapat disebut mencuri, yaitu sebagai berikut:

  • Ada sesuatu barang/benda milik pihak lain.
  • Mengetahui barang itu ada pemiliknya.
  • Berpikir untuk mencurinya.
  • Berusaha untuk mencurinya.
  • Berhasil mengambil barang itu melalui usaha tersebut.

Penerapannya sila ini dalam kehidupan sehari-hari ialah tidak mencuri barang yang bukan milik kita sendiri. Seseorang hendaknya memiliki rasa saling menghargai terhadap kepemilikan orang lain. Jadi, dengan menghargai kepemilikan orang lain, kita juga menghargai benda yang kita miliki. Karena sila erat kaitannya dengan karma, dipastikan kita akan memperoleh karma buruk jika melanggar sila kedua ini. Akibat yang ditanggung saat melanggar sila kedua, yaitu:

 

  • Tidak begitu mempunyai harta benda dan kekayaan.
  • Terlahirkan dalam keadaan melarat atau miskin.
  • Menderita kelaparan.
  • Tidak berhasil memperoleh apa yang diinginkan dan didambakan.
  • Menderita kebangkrutan atau kerugian dalam usaha atau pekerjaan.
  • Sering ditipu atau diperdaya.
  • Mengalami kehancuran karena bencana atau malapetaka.

 

3. Kāmesu micchācārā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi

Aku bertekad untuk menghindarkan diri dari perbuatan asusila. Menahan diri merupakan hal yang terpenting dalam ajaran Buddha. Oleh karena itu, kita harus baik-baik menjaga perilaku agar tidak melanggar sila ketiga ini. 

Ada 4 faktor untuk dapat disebut berzinah, yaitu:

  • Ada objek yang tidak patut digauli.
  • Mempunyai pikiran untuk menyetubuhi objek tersebut.
  • Berusaha menyetubuhi.
  • Berhasil menyetubuhi, dalam artian berhasil memasukkan alat kemaluannya ke dalam salah satu dari tiga lubang (mulut, anus, atau liang peranakan) walaupun hanya sedalam biji wijen.

Penerapan sila ke-3 ini dalam kehidupan sehari-hari ialah untuk menjauhkan diri kita dari perbuatan zinah, perkosaan, dan perselingkuhan.  Untuk itu, kita harus menjaga perilaku sebaik mungkin agar pelanggaran sila ketiga ini tidak muncul. Akibat dari melanggar sila ketiga, yaitu:

  • Mempunyai banyak musuh.
  • Dibenci banyak orang.
  • Sering diancam dan dicelakai.
  • Terlahirkan sebagai orang yang mempunyai orientasi seks yang salah (homo/lesbian).
  • Mempunyai kelainan jiwa.
  • Diperkosa orang lain.
  • Sering mendapat aib/malu.
  • Tidur maupun bangun dalam keadaan gelisah.
  • Tidak begitu disenangi oleh laki-laki maupun perempuan.
  • Gagal dalam menjalin hubungan.
  • Sukar mendapat jodoh.
  • Tidak memperoleh kebahagiaan dalam berumahtangga.
  • Terpisahkan dari orang yang dicintai.

 

4. Musāvādā Veramaṇi Sikkhāpadaṁ Samādiyāmi

Aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari kebohongan. Kita sebagai umat Buddha harus menghindari berkata yang tidak benar/berbohong dan selalu berkata sopan agar tercipta suasana yang tenang, damai, dan harmonis. Sesuai sabda Sang Buddha:

Seseorang seharusnya mengucapkan hanya ucapan yang menyenangkan, ucapan yang disambut dengan gembira. Ketika diucapkan tidak membawa keburukan, apa yang diucapkan adalah menyenangkan bagi orang lain”. (Saṁyutta Nikāya, 2010 : 287)

Ada 4 faktor untuk dapat disebut berdusta, yaitu:

  1. Ada sesuatu yang tidak benar.
  2. Mempunyai pikiran untuk berdusta.
  3. Berusaha berdusta.
  4. Pihak lain mempercayainya.

Penerapan sila ke-4 dalam kehidupan sehari-hari ialah dengan menghindari perkataan dusta dan berusaha untuk berbicara dengan benar dan gembira. Suatu perkataan sebaiknya mengandung makna dan bermanfaat, sehingga orang yang mendengar merasa senang dengan ucapan kita. Berbicara benar dalam hidup bermasyarakat akan menciptakan suasana yang tenang, karena tidak ada kebohongan di antara semuanya.

Akibat dari melanggar sila ke-4 adalah sebagai berikut:

  • Bicaranya tidak jelas.
  • Giginya jelek dan tidak rata/rapi.
  • Mulutnya berbau busuk.
  • Perawakannya tidak normal, terlalu gemuk atau kurus, terlalu tinggi atau pendek.
  • Sorot matanya tidak wajar.
  • Perkataannya tidak dipercaya oleh orang-orang terdekat atau bawahannya.

 

5. Surāmeraya Majjapamādaṭṭhānā Veramaṇi Sikkhāpadaṁ Samādiyāmi

Aku bertekad akan melatih diri menghindari minuman keras yang dapat melemahkan kesadaran. Seseorang yang melanggar sila kelima ini dan akhirnya kehilangan kesadaran bisa mengakibatkan hilangnya kendali atas pikiran, ucapan, dan perbuatan, sehingga tanpa sadar melakukan hal yang dapat mendatangkan karma buruk.

Ada 3 faktor untuk dapat disebut mabuk-mabukkan, yaitu:

  • Ada sesuatu yang membuat nekat, mabuk, tak sadarkan diri, yang menjadi dasar kelengahan dan kecerobohan.
  • Mempunyai keinginan untuk menggunakannya.
  • Timbul gejala mabuk atau sudah menggunakan (meminumnya) hingga masuk kerongkongan.

Penerapan dalam kehidupan sehari-hari ialah dengan melatih kesadaran kita terhadap segala hal yang dapat memperlemah pengendalian diri dan kewaspadaan. Berupayalah untuk mengontrol pikiran secara benar dan selalu waspada terhadap segala tindakan yang kita perbuat. Seperti contohnya menghindari minum minuman berakohol yang dapat membuat kesadaran kita melemah.

Akibat dari melanggar sila ke-5:

Buddha telah menekankan dalam Anguttara Nikaya dan Sutta Pittaka tentang besarnya akibat negatif yang ditimbulkan dari keadaan mabuk, yaitu:

 

“Duhai para Bhikkhu, peminum minuman keras secara berlebihan dan terus-menerus niscaya dapat  menyeret seseorang ke dalam alam neraka dan alam binatang. Akibat paling ringan ditanggung oleh mereka yang karena kebajikan lain, terlahirkan sebagai manusia, ialah menjadi orang yang memiliki kelainan jiwa/gila”

Berdasarkan uraian di atas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa setiap hal yang terjadi dalam diri kita, pasti memiliki sebab dan akibat. Jika kita menghilangkan penyebabnya dengan menjalankan dan mempraktekkan sila, maka kita akan hidup damai dan bahagia. Setiap pelanggaran sila yang dilakukan akan mendapatkan karma buruk. Meskipun hanya dengan berpikir saja atau berniat untuk melakukan pelanggaran sila, tetap timbul karma buruk atas niat melanggar sila. Hal ini dikarenakan karma adalah perbuatan yang didasari oleh niat, yang dilakukan baik melalui pikiran, ucapan atau perbuatan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya sebagai umat Buddha sebaiknya menjalankan dan mempraktekkan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari agar tercipta dunia yang aman, damai, tentram, dan bahagia.

Penulis: Yenny Soneta
Editor: Sheila Mitha Kalyani dan Erwin


Sumber Bacaan:
Wikipedia. 2020, Pancasila (Buddha), Diakses tanggal 16 Juni 2020 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila_(Buddha).

Nibbana.id, Pancasila Buddhis, Diakses tanggal 16 Juni 2020 dari https://nibbana.id/pancasila-buddhis/.

HikmahBudhi, Diakses tanggal 16 Juni 2020 dari https://majalah-hikmahbudhi.com/.


 Go Follow!

Instagram : Cittamagz


Youtube : Cittakmbp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar