counter

Selasa, 28 April 2020

PUASA DALAM AGAMA BUDDHA


PUASA DALAM AGAMA BUDDHA


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puasa adalah menghindari makan dan minum dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Puasa di Indonesia identik dilakukan satu bulan sebelum Hari Raya Idul Fitri oleh teman kita yang beragama Muslim. Perlu kalian ketahui, agama Buddha juga melakukan kegiatan puasa. Namun, puasa dalam agama Buddha memiliki sedikit perbedaan dari puasa pada umumnya.
Kata puasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Upavasa”. Dalam agama Buddha, puasa disebut dengan Uposatha. Puasa dalam agama Buddha meperbolehkan aktivitas makan dalam jangka waktu tertentu, yaitu pada pukul 6 pagi sampai 12 siang. Tidak ada batasan waktu untuk minum asalkan berdasarkan atas dorongan kebutuhan, bukan keinginan. Namun, ada pengecualian mengenai minuman apa saja yang tidak boleh dikonsumsi ketika sudah melebihi jam 12 siang, contohnya seperti susu.
Meskipun puasa bukanlah hal yang wajib, teladan puasa telah dipaparkan oleh Buddha Gotama dalam Kitagiri Sutta bagian dari Majjhima Nikaya sebagai berikut:

Ada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berkelana di Negeri Kasi bersama dengan kelompok besar Sangha Bhikkhu. Disana Beliau berbicara kepada para Bhikkhu demikian: “Para Bhikkhu, aku berpantang makan di malam hari. Dengan melakukan hal ini, aku bebas dari penyakit dan penderitaan, dan aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kehidupan yang nyaman.
Mari, para Bhikkhu, berpantanglah makan malam. Dengan melakukan hal ini, kalian juga akan bebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.”

Pada umumnya, hari Uposatha adalah hari dimana umat Buddha melatih diri untuk berpuasa. Dalam penanggalan Buddhis, terdapat 4 hari Uposatha, yaitu tanggal 1,8,15, dan 22. Pada hari Uposatha, umat Buddha tidak hanya melatih diri untuk tidak makan namun juga harus menjalankan Atthasila atau 8 Aturan Moral. Bhikkhu dan Bhikkhuni biasanya melaksanakan Uposatha setiap hari di tambah dengan 227 peraturan Bhikkhu dan 311 peraturan Bhikkhuni. Peraturan dalam Uposatha sila/ atthasila, yaitu:


1.      Tidak membunuh
Maksud tidak membunuh adalah tidak melukai, menyakiti maupun menganiyaya makhluk hidup hingga meninggal. Makhluk hidup disini adalah hewan dan manusia. Tumbuhan tidak termasuk.

2.      Tidak mencuri
Tidak mencuri artinya tidak mengambil barang yang bukan milik kita tanpa seizin pemilik barang tersebut. Kita juga tidak boleh merampas secara paksa barang milik orang lain, mencopet, merampok dan lain sebagainya.

3.      Tidak berbuat asusila
Kita tidak boleh melakukan hubungan badan dan tidak boleh memuaskan diri kita sendiri secara seksual.

4.      Tidak berbohong
Tidak berbohong maksudnya tidak boleh merugikan orang secara langsung ataupun tidak langsung, tidak boleh melakukan omong kosong, dilarang memberitahu atau membicarakan kejadian yang sebenarnya tidak terjadi.

5.      Tidak mengonsumsi zat adiktif/ memabukkan
Tidak boleh mengonsumsi zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran kita, seperti alkohol dan obat-obat terlarang. Diperbolehkan apabila menggunakan zat atau obat-obatan dalam keperluan medis dengan dosis kecil serta tidak mengakibatkan hilangnya kesadaran.

6.      Tidak makan lewat dari tengah hari/ makan di waktu yang salah
Seseorang tidak boleh makan setelah lewat dari tengah hari hingga dini hari (12 malam). Jadi, seseorang boleh makan (berapa kali pun) hanya pada waktu dinihari, subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12 siang).

7.      Tidak menikmati hiburan dan wangi-wangian
Seseorang tidak boleh menonton, mendengarkan musik, bermain handphone secara berlebihan atau hal lain yang bersifat sebagai penghiburan diri. Jika musik atau kosmetik digunakan untuk keperluan terapi, maka tidak melanggar.

8.      Tidak tidur di tempat yang mewah
Orang yang puasa tidak boleh berbaring, duduk maupun tidur di tempat yang mewah dan tingginya lebih dari 20 inci.

Apabila delapan latihan moral (atthasila) dalam puasa sudah dijalankan dengan baik, maka terdapat banyak manfaat yang diperoleh, baik secara ekonomi, kesehatan, maupun spiritual. Dalam Digha Nikaya; Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha mengatakan:

Ia yang melaksanakan Sila dengan baik, nama harumnya tersebar luas hingga sampai ke alam dewa; Ia akan memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma (lahir dan batin); Tanpa ketakutan dan keraguan; ia dipuji oleh orang yang bijaksana; meninggal dengan tenang; dan terlahir di alam surga.”

Ada satu jenis kegiatan lain dalam agama Buddha yang bisa disebut “puasa”, yaitu vegetaris. Vegetaris berarti tidak makan makanan bernyawa (daging makhluk hidup). Atau bisa dikatakan hanya memakan sayur-sayuran. Dalam pelaksanaan vegetaris ini, umat Buddha yang vegetarian tidak memakan daging, termasuk jenis bawang-bawangan. Untuk telur atau susu, ada vegetarian yang masih makan, ada juga yang tidak. Namun, vegetarian murni (vegan) tidak makan telur ataupun susu.
Dalam melaksanakan puasa ini (vegetaris), seseorang boleh makan kapanpun dalam 24 jam, dengan hanya memakan sayur-sayuran tanpa daging atau bawang-bawangan. Puasa ini (melaksanakan vegetaris) tidak wajib bagi umat Buddha. Biasanya umat Buddha melaksanakannya setiap tanggal 1 dan 15 sesuai kalender lunar (kalender yang berdasarkan revolusi bulan), ketika bulan purnama menurut perhitungan Cina.
Kesimpulannya, terdapat dua jenis puasa dalam agama Buddha yang terdiri dari 2 macam, yaitu Uposatha dan Vegetaris. Keduanya mempunyai cara dan aturan berpuasa yang berbeda. Umat Buddha yang menjalankan uposatha dan vegetaris dengan benar, akan memperoleh manfaat bukan hanya pada kehidupan saat ini, tetapi akan dirasakan hingga kehidupan selanjutnya. [Penulis: Shintia]

Sumber Bacaan :
rappler, majalah hikmahbudhi, dhammacitta, berita bhagavant


Go Follow!
Instagram : Cittamagz
Youtube : Cittakmbp



Tidak ada komentar:

Posting Komentar