Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke
Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat
melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak
serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu
yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan,
di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati.
Mereka mengambil kesimpulan bahwa kejadian tersebut adalah karena Cakkhupala
Thera. Lalu alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah
haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan
mereka, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya.
Mendengar
laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, “Para bhante, apakah kalian telah
melihat sendiri pembunuhan itu?”
“Tidak
bhante”, jawab mereka serempak.
Sang
Buddha kemudian menjawab, “Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala
Thera yang tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu,
Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai
kehendak untuk membunuh.”
“Bagaimana
seorang yang telah mencapai arahat, tetapi matanya buta?” tanya beberapa
bhikkhu. Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:
Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah
terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita
miskin meminta tolong untuk menyembuhkan
matanya. Karena wanita tersebut tidak sanggup membayar maka ia menjanjikan
imbalan anak-anaknya akan menjadi pembantu untuk tabib. Permintaan itu
disanggupi oleh sang tabib. Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai
sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya
sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan
marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya
sembuh, malahan bertambah parah. Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib
tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi
tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. “Oh, kalau
begitu akan kuganti obatmu”, demikian jawabnya. “Nantikan pembalasanku!”
serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena
pembalasan sang tabib. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah
kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya. Mengakhiri
ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:
Pikiran adalah pelopor dari segala
sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat
dengan pikiran jahat,
maka penderitaan akan mengikutinya,
bagaikan roda pedati mengikuti langkah
kaki lembu yang menariknya.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di
antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai
tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis ‘Pandangan
Terang’ (pati-sambhida).
Penulis : Michelle Valerie (Anggota Div. Kerohanian KMBP)
Editor : Chelline Nandya
Sumber:
https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/kisah-cakkhupala-thera-2/
Bisa jadi termasuk contoh kasus dari silogisme disjungtif
BalasHapus1:Cakkhupala Thera tidak melihat hewan terbunuh
2:Rombongan Bhikkhu tidak melihat Cakkhupala Thera membunuh hewan
Kesimpulan: Cakkhupala Thera tidak membunuh hewan