counter

Rabu, 12 Mei 2021

Kisah Cakkhupala Thera

 


Suatu hari, Cakkhupala Thera berkunjung ke Vihara Jetavana untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Malamnya, saat melakukan meditasi jalan kaki, sang thera tanpa sengaja menginjak banyak serangga sehingga mati. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali serombongan bhikkhu yang mendengar kedatangan sang thera bermaksud mengujunginya. Di tengah jalan, di dekat tempat sang thera menginap mereka melihat banyak serangga yang mati. Mereka mengambil kesimpulan bahwa kejadian tersebut adalah karena Cakkhupala Thera. Lalu alih-alih dari mengunjungi sang thera, para bhikkhu itu berubah haluan, berbondong-bondong menghadap Sang Buddha untuk melaporkan temuan mereka, bahwa Cakkhupala Thera telah melanggar vinaya.

Mendengar laporan para bhikkhu, Sang Buddha bertanya, “Para bhante, apakah kalian telah melihat sendiri pembunuhan itu?”

“Tidak bhante”, jawab mereka serempak.

Sang Buddha kemudian menjawab, “Kalian tidak melihatnya, demikian pula Cakkhupala Thera yang tidak melihat serangga-serangga itu, karena matanya buta. Selain itu, Cakkhupala Thera telah mencapai kesucian arahat. Ia telah tidak mempunyai kehendak untuk membunuh.”

“Bagaimana seorang yang telah mencapai arahat, tetapi matanya buta?” tanya beberapa bhikkhu. Maka Sang Buddha menceritakan kisah di bawah ini:

Pada kehidupan lampau, Cakkhupala pernah terlahir sebagai seorang tabib yang handal. Suatu ketika datang seorang wanita miskin meminta tolong untuk  menyembuhkan matanya. Karena wanita tersebut tidak sanggup membayar maka ia menjanjikan imbalan anak-anaknya akan menjadi pembantu untuk tabib. Permintaan itu disanggupi oleh sang tabib. Perlahan-lahan penyakit mata yang parah itu mulai sembuh. Sebaliknya, wanita itu menjadi ketakutan, apabila penyakit matanya sembuh, ia dan anak-anaknya akan terikat menjadi pembantu tabib itu. Dengan marah-marah ia berbohong kepada sang tabib, bahwa sakit matanya bukannya sembuh, malahan bertambah parah. Setelah diperiksa dengan cermat, sang tabib tahu bahwa wanita miskin itu telah berbohong kepadanya. Tabib itu menjadi tersinggung dan marah, tetapi tidak diperlihatkan kepada wanita itu. “Oh, kalau begitu akan kuganti obatmu”, demikian jawabnya. “Nantikan pembalasanku!” serunya dalam hati. Benar, akhirnya wanita itu menjadi buta total karena pembalasan sang tabib. Sebagai akibat dari perbuatan jahatnya, tabib itu telah kehilangan penglihatannya pada banyak kehidupan selanjutnya. Mengakhiri ceritanya, Sang Buddha kemudian membabarkan syair di bawah ini:

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,

pikiran adalah pemimpin,

pikiran adalah pembentuk.

Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat,

maka penderitaan akan mengikutinya,

bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.

 

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, di antara para bhikkhu yang hadir ada yang terbuka mata batinnya dan mencapai tingkat kesucian arahat dengan mempunyai kemampuan batin analitis ‘Pandangan Terang’ (pati-sambhida).

 

Penulis : Michelle Valerie (Anggota Div. Kerohanian KMBP)

Editor  : Chelline Nandya


Sumber: https://samaggi-phala.or.id/tipitaka/kisah-cakkhupala-thera-2/

1 komentar:

  1. Bisa jadi termasuk contoh kasus dari silogisme disjungtif

    1:Cakkhupala Thera tidak melihat hewan terbunuh
    2:Rombongan Bhikkhu tidak melihat Cakkhupala Thera membunuh hewan

    Kesimpulan: Cakkhupala Thera tidak membunuh hewan

    BalasHapus