PUASA DALAM AGAMA BUDDHA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puasa adalah menghindari makan dan minum dengan sengaja (terutama
bertalian dengan keagamaan). Puasa di
Indonesia identik dilakukan satu
bulan sebelum Hari Raya Idul Fitri oleh teman kita yang beragama Muslim. Perlu kalian ketahui, agama Buddha juga
melakukan kegiatan puasa. Namun, puasa dalam agama Buddha memiliki sedikit perbedaan dari puasa pada umumnya.
Kata puasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
“Upavasa”. Dalam agama Buddha, puasa disebut dengan Uposatha. Puasa dalam agama Buddha meperbolehkan
aktivitas makan
dalam jangka waktu tertentu, yaitu pada pukul 6 pagi sampai 12 siang. Tidak ada batasan waktu untuk minum asalkan
berdasarkan atas dorongan kebutuhan, bukan keinginan. Namun, ada
pengecualian mengenai minuman apa saja yang tidak boleh dikonsumsi
ketika sudah melebihi jam 12 siang, contohnya seperti susu.
Meskipun puasa bukanlah hal yang
wajib, teladan puasa telah dipaparkan oleh Buddha Gotama dalam Kitagiri Sutta bagian dari Majjhima
Nikaya sebagai berikut:
“Ada suatu
ketika Yang Terberkahi sedang berkelana di Negeri Kasi bersama dengan kelompok
besar Sangha Bhikkhu. Disana Beliau berbicara kepada para Bhikkhu
demikian: “Para Bhikkhu, aku berpantang makan di malam hari. Dengan
melakukan hal ini, aku bebas dari penyakit dan penderitaan, dan aku menikmati
kesehatan, kekuatan, dan kehidupan yang nyaman.
Mari, para Bhikkhu,
berpantanglah makan malam. Dengan melakukan hal ini, kalian juga akan bebas
dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan,
dan kediaman yang nyaman.”
Pada umumnya, hari Uposatha adalah hari
dimana umat Buddha melatih diri untuk berpuasa. Dalam penanggalan Buddhis, terdapat 4 hari Uposatha, yaitu tanggal 1,8,15, dan 22. Pada hari Uposatha, umat Buddha tidak
hanya melatih diri untuk tidak makan namun juga harus menjalankan Atthasila atau 8 Aturan Moral. Bhikkhu
dan Bhikkhuni biasanya melaksanakan Uposatha
setiap hari di tambah dengan 227 peraturan Bhikkhu dan 311 peraturan
Bhikkhuni. Peraturan dalam Uposatha
sila/ atthasila, yaitu:
1.
Tidak membunuh
Maksud tidak
membunuh adalah tidak melukai, menyakiti maupun menganiyaya makhluk hidup
hingga meninggal.
Makhluk hidup disini adalah hewan dan manusia. Tumbuhan tidak termasuk.
2.
Tidak mencuri
Tidak mencuri artinya tidak
mengambil barang yang bukan milik kita tanpa seizin pemilik barang tersebut.
Kita juga tidak boleh merampas secara paksa barang milik orang lain, mencopet, merampok dan lain sebagainya.
3.
Tidak berbuat
asusila
Kita tidak boleh
melakukan hubungan badan dan tidak boleh memuaskan diri kita sendiri secara
seksual.
4.
Tidak berbohong
Tidak berbohong
maksudnya tidak boleh merugikan orang secara langsung ataupun tidak langsung, tidak boleh
melakukan omong kosong, dilarang memberitahu atau membicarakan
kejadian yang sebenarnya tidak terjadi.
5.
Tidak
mengonsumsi zat adiktif/ memabukkan
Tidak boleh
mengonsumsi zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran kita, seperti alkohol dan
obat-obat terlarang. Diperbolehkan apabila menggunakan zat atau obat-obatan
dalam keperluan medis dengan dosis kecil serta tidak
mengakibatkan hilangnya kesadaran.
6.
Tidak makan
lewat dari tengah hari/ makan di waktu yang salah
Seseorang tidak boleh makan setelah lewat dari tengah
hari hingga dini hari (12 malam). Jadi, seseorang boleh makan (berapa kali pun) hanya pada
waktu dinihari, subuh sampai tengah hari (sekitar jam 12 siang).
7.
Tidak menikmati
hiburan dan wangi-wangian
Seseorang tidak boleh menonton,
mendengarkan musik, bermain handphone secara berlebihan atau
hal lain yang bersifat sebagai
penghiburan diri. Jika musik
atau kosmetik digunakan untuk keperluan terapi, maka tidak
melanggar.
8.
Tidak tidur di
tempat yang mewah
Orang yang puasa tidak boleh berbaring, duduk maupun tidur di tempat
yang mewah dan tingginya lebih dari 20 inci.
Apabila delapan latihan moral (atthasila) dalam puasa sudah dijalankan dengan baik, maka terdapat
banyak manfaat yang diperoleh, baik secara ekonomi, kesehatan, maupun
spiritual. Dalam Digha Nikaya; Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha
mengatakan:
“Ia yang
melaksanakan Sila dengan baik, nama harumnya tersebar luas hingga sampai ke
alam dewa; Ia akan memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma (lahir dan batin);
Tanpa ketakutan dan keraguan; ia dipuji oleh orang yang bijaksana; meninggal
dengan tenang; dan terlahir di alam surga.”
Ada satu jenis kegiatan lain dalam
agama Buddha yang bisa disebut “puasa”, yaitu vegetaris. Vegetaris berarti
tidak makan makanan bernyawa (daging makhluk hidup). Atau bisa dikatakan hanya
memakan sayur-sayuran. Dalam pelaksanaan vegetaris ini, umat Buddha yang
vegetarian tidak memakan daging, termasuk jenis bawang-bawangan. Untuk
telur atau susu, ada vegetarian yang masih makan, ada juga yang tidak.
Namun, vegetarian murni (vegan) tidak makan telur ataupun susu.
Dalam melaksanakan puasa ini (vegetaris), seseorang
boleh makan kapanpun dalam 24 jam, dengan hanya memakan sayur-sayuran tanpa daging atau
bawang-bawangan. Puasa ini (melaksanakan vegetaris) tidak wajib bagi umat
Buddha. Biasanya umat Buddha melaksanakannya setiap tanggal 1
dan 15 sesuai kalender lunar (kalender yang berdasarkan revolusi
bulan), ketika bulan purnama menurut perhitungan Cina.
Kesimpulannya, terdapat dua jenis puasa dalam agama Buddha yang terdiri dari 2 macam, yaitu Uposatha
dan Vegetaris. Keduanya mempunyai cara dan aturan berpuasa yang berbeda.
Umat Buddha yang menjalankan uposatha dan vegetaris dengan benar, akan memperoleh manfaat bukan hanya pada kehidupan saat ini, tetapi
akan dirasakan hingga kehidupan selanjutnya. [Penulis: Shintia]
Sumber Bacaan
:
rappler,
majalah hikmahbudhi, dhammacitta, berita bhagavant
Go Follow!
Instagram : Cittamagz
Youtube : Cittakmbp
Go Follow!
Instagram : Cittamagz
Youtube : Cittakmbp